Usus Ayam Crispy Camilan Kang Yadi Enak, Renyah, Gurih, Nikmat, dan Kriuk

DPRD Jember Disorot, Budayawan Desak Bentuk Dinas Kebudayaan Mandiri

JEMBER – Rencana peleburan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) ke dalam Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Jember memicu gelombang penolakan yang semakin kuat dari kalangan budayawan, seniman, dan pegiat budaya lokal. Mereka menilai kebijakan tersebut tidak berpihak pada kepentingan pelestarian dan pemajuan kebudayaan di daerah, serta mengancam eksistensi komunitas budaya yang selama ini berkembang secara mandiri di tengah keterbatasan dukungan pemerintah daerah.Dalam rapat dengar pendapat yang digelar bersama Komisi B DPRD Jember pada Rabu (7/5), sejumlah tokoh budaya dan perwakilan komunitas menyuarakan keberatan mereka atas penggabungan urusan kebudayaan ke dalam Dispora. Mereka menuntut agar DPRD Jember menyampaikan aspirasi tersebut secara tegas kepada pemerintah daerah, bahkan menyatakan kesiapannya untuk melakukan aksi demonstrasi jika tuntutan mereka tidak direspons dengan serius.”Penggabungan Ini Langkah Mundur dalam Pemajuan Budaya”Novi Agus, pengurus Balai RW Institute sekaligus tokoh budaya Jember, menegaskan bahwa kebijakan penggabungan Disparbud ke Dispora merupakan kemunduran besar dalam misi pemajuan kebudayaan. Ia menekankan pentingnya kebudayaan ditangani oleh lembaga khusus agar pelestarian nilai-nilai budaya, pengembangan potensi lokal, serta pembinaan komunitas seni dan sastra bisa berjalan optimal.“Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan telah menegaskan bahwa kebudayaan merupakan urusan wajib non-pelayanan dasar. Maka, harus ditangani secara khusus dan bukan digabung dengan dinas yang memiliki agenda berbeda seperti olahraga,” ucapnya.Dalam kesempatan itu, Novi menyampaikan delapan tuntutan utama dari komunitas budaya, antara lain: pembatalan rencana peleburan Disparbud dan pembentukan Dinas Kebudayaan yang berdiri sendiri, penyusunan kebijakan budaya secara partisipatif, penyediaan anggaran proporsional untuk program budaya, fasilitasi kebutuhan komunitas seni dan sastra, penyusunan ulang Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD), jaminan SDM profesional di bidang budaya, pelatihan dan rekrutmen terbuka bagi pelaku budaya, serta pembentukan forum dialog reguler antara pemangku kebijakan dan pelaku budaya.DPRD Akui Kesiangan, Namun Siap Komunikasi dengan EksekutifMenanggapi aspirasi tersebut, anggota Komisi B DPRD Jember, Nilam Noor Fadilah Wulandari, mengaku prihatin atas keresahan yang disampaikan para pelaku budaya. Ia mengakui bahwa proses perubahan Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) telah berjalan hingga tahap harmonisasi di provinsi, namun DPRD akan tetap mengupayakan komunikasi kepada eksekutif agar mempertimbangkan kembali rencana peleburan tersebut.“Secara pribadi, saya mendukung substansi tuntutan para budayawan. Kami akan mempelajari dan mengakomodasi semua poin-poin yang disampaikan, kemudian mengusulkan kepada eksekutif untuk mempertimbangkan ulang keputusan tersebut,” jelas Nilam.Budayawan Nilai Kebijakan Tidak Sesuai Semangat Undang-UndangSenada dengan Novi, Djoko dari Rumah Budaya Pandhalungan menyatakan bahwa menyatukan urusan kebudayaan dengan pariwisata bahkan olahraga adalah langkah yang keliru. Menurutnya, kebudayaan memiliki karakteristik dan kebutuhan tersendiri yang tak bisa disamakan dengan sektor lain.“Bergabung dengan pariwisata saja sudah membuat program kebudayaan terpinggirkan. Apalagi jika dicampur lagi dengan olahraga. Ini bukan sekadar masalah teknis birokrasi, tapi menyangkut arah besar pembangunan kebudayaan daerah,” ujarnya.Sementara itu, Gunawan Trip dari komunitas Srawung Sastra menegaskan bahwa peleburan Disparbud dengan Dispora adalah bentuk pengabaian terhadap capaian pemajuan kebudayaan yang selama ini dibangun oleh komunitas secara mandiri.“Tanpa digabung saja, perhatian terhadap budaya sangat minim. Jika digabung, kebudayaan pasti kalah oleh pariwisata dan olahraga yang lebih komersial. Maka kami menolak keras rencana ini,” tegasnya.Aksi Demonstrasi Jadi Pilihan TerakhirMelihat lemahnya keberpihakan pemerintah terhadap kebudayaan, para budayawan kini mempertimbangkan aksi jalanan sebagai bentuk tekanan. Mereka menyatakan siap menggelar demonstrasi apabila tuntutan tidak segera direspons, dan akan terus melakukan dialog serta hearing dengan DPRD.“Jika tidak ada langkah konkret dari pemerintah daerah, kami akan turun ke jalan. Kami ingin pemkab serius dalam memajukan kebudayaan, bukan malah mengaburkannya dalam tumpukan urusan birokrasi yang tidak relevan,” pungkas Novi.Gelombang protes ini menjadi sinyal kuat bahwa keputusan terkait struktur organisasi pemerintahan daerah tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai kultural dan identitas lokal. Budaya bukan sekadar pelengkap, tetapi fondasi penting bagi pembangunan daerah yang berkelanjutan. (r1ck)