JAKARTA, LINTAS NUSANTARA – Indonesia-Belanda Percepat Perjanjian Ekstradisi, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Menkum HAM), Supratman Andi Agtas, menerima kunjungan kehormatan Duta Besar (Dubes) Kerajaan Belanda untuk Indonesia, Marc Gerritsen, di Ruang Rapat Kementerian Hukum dan HAM, Jakarta, pada Selasa (21/01/2025).
Dalam pertemuan tersebut, keduanya membahas kerja sama antara Indonesia dan Belanda dalam penyusunan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang akan mulai berlaku pada Januari 2026.
Supratman Andi Agtas menegaskan bahwa Indonesia sedang dalam tahap penyusunan beberapa regulasi yang harus diterapkan guna memastikan kelancaran implementasi KUHP baru. Menurutnya, dalam proses penyusunan regulasi turunan ini, Indonesia membutuhkan perspektif dari berbagai yurisdiksi, termasuk dari Kerajaan Belanda, mengingat sejarah hukum Indonesia yang memiliki keterkaitan erat dengan sistem hukum Belanda.
“Saya pastikan bahwa dengan KUHP yang baru, pendekatan terhadap penghargaan hak asasi manusia akan semakin baik. Kami juga memerlukan masukan dari berbagai negara, termasuk Belanda, agar penerapan KUHP baru ini selaras dengan politik hukum nasional yang telah ditetapkan,” ujar Supratman.
Mekanisme Penghukuman Alternatif dan HAM dalam KUHP Baru
Salah satu aspek yang menjadi perhatian dalam KUHP baru adalah pengembangan mekanisme penghukuman alternatif yang tidak hanya berorientasi pada pemenjaraan, tetapi juga mempertimbangkan sanksi lain yang lebih berorientasi pada rehabilitasi dan pemulihan sosial. Supratman menjelaskan bahwa sistem hukum Belanda memiliki beberapa praktik penghukuman yang dapat diadaptasi oleh Indonesia guna meningkatkan efektivitas sistem peradilan pidana tanpa mengabaikan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM).
“Kita mengembangkan dan meniru beberapa praktik yang ada di Belanda terkait penghukuman, bukan sekadar penghukuman badan tetapi juga pengembangan alternatif hukuman lainnya. Tentu saja, hal ini tetap dilakukan dengan menghormati dan menghargai prinsip-prinsip HAM yang berlaku,” tutur Supratman yang akrab disapa Bang Maman.
Menurutnya, kerja sama dalam bidang hukum antara Indonesia dan Belanda tidak hanya dapat meningkatkan efektivitas penerapan KUHP baru, tetapi juga membuka jalan bagi reformasi hukum yang lebih progresif di masa mendatang.
Perundingan Perjanjian Ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA)
Selain membahas regulasi turunan KUHP, Menkum juga menyoroti pentingnya mempercepat perundingan terkait perjanjian ekstradisi dan Mutual Legal Assistance (MLA) atau perjanjian bantuan hukum timbal balik antara kedua negara.
“Saya berharap kita sedapat mungkin segera melakukan perundingan untuk perjanjian timbal balik (MLA) dan ekstradisi. Ini menjadi sesuatu yang penting, baik dari sisi Indonesia maupun dari Pemerintah Belanda,” tegasnya.
Dengan adanya perjanjian ekstradisi dan MLA, diharapkan kerja sama hukum antara Indonesia dan Belanda dapat semakin diperkuat, terutama dalam upaya menindak kejahatan lintas negara seperti tindak pidana korupsi, pencucian uang, dan kejahatan transnasional lainnya.
Pelatihan Penyusunan Legislasi Pidana dan Pengembangan Database Pidana
Dalam rangka meningkatkan kapasitas penyusunan regulasi pidana di Indonesia, Supratman juga menyampaikan bahwa Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM) melalui Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan (Ditjen PP), bersama Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), telah menjalin kerja sama dalam penyelenggaraan pelatihan bagi pelatih (Training of Trainer-TOT) tahun 2024.
Pelatihan ini berfokus pada penyusunan legislasi pidana, alternatif pidana non-penjara dalam praktik hukum Belanda dan Indonesia, serta pengumpulan data peraturan guna pengembangan database sebaran pidana di Indonesia.
“Saya berharap kerja sama yang sudah ada di Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, terutama terkait pelatihan bagi pelatih (Training of Trainer), tetap bisa kita lanjutkan,” kata Supratman.
Dubes Belanda Dukung Penguatan Kerja Sama Hukum
Duta Besar Kerajaan Belanda, Marc Gerritsen, menyampaikan apresiasinya terhadap kerja sama yang telah terjalin antara kedua negara, khususnya di bidang hukum. Menurutnya, Belanda dan Indonesia memiliki sejarah panjang dalam kerja sama hukum, yang dapat terus dikembangkan guna menghadapi tantangan hukum modern.
“Belanda dan Indonesia berbagi banyak topik dalam bidang kerja sama, termasuk dalam bidang hukum. Sistem hukum Indonesia memiliki banyak kemiripan dengan sistem hukum Belanda, termasuk kajian-kajian yang dilakukan oleh para cendekiawan Belanda yang turut berkontribusi dalam pengembangan sistem hukum di Indonesia. Kami sangat berkeinginan untuk melanjutkan kerja sama ini dalam bidang hukum yang lebih spesifik lagi,” ungkap Marc Gerritsen.
Tanggapan Praktisi Hukum Indonesia
Advokat senior berdarah Batak, Leonard Sirait, S.H., M.H., turut mengomentari pentingnya kerja sama hukum antara Indonesia dan Belanda dalam konteks implementasi KUHP baru. Menurutnya, regulasi turunan dari KUHP harus mampu meningkatkan pemahaman hukum di kalangan masyarakat, serta memperkuat kapasitas para advokat dalam menjalankan pembelaan hukum terhadap klien yang berhadapan dengan hukum pidana.
“Dengan adanya kerja sama antara kedua negara dalam pembahasan regulasi turunan UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP, diharapkan dapat membawa perubahan dalam kesadaran masyarakat tentang hukum. Terlebih lagi, rekan-rekan advokat nantinya dapat lebih maksimal dalam upaya pembelaan terhadap klien yang berhadapan dengan hukum pidana,” ujar Leonard.
Ia juga menyoroti bahwa banyak aspek dalam KUHP lama masih merupakan warisan dari sistem hukum kolonial Belanda. Oleh karena itu, menurutnya, kerja sama antara Indonesia yang diwakili oleh Menkum HAM Supratman Andi Agtas dan Pemerintah Belanda yang diwakili oleh Dubes Marc Gerritsen diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam dunia hukum Indonesia ke depan.
“Kerja sama antara Indonesia dan Belanda dalam penyusunan regulasi turunan KUHP baru merupakan langkah strategis dalam memastikan implementasi hukum pidana yang lebih modern, efektif, dan selaras dengan prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia. Selain itu, upaya untuk mempercepat perundingan perjanjian ekstradisi dan MLA menunjukkan komitmen kuat kedua negara dalam memperkuat kerja sama hukum untuk menghadapi tantangan kejahatan lintas negara,” ungkap advokat yang kerap disapa Leo Sirait itu.
Dengan adanya pelatihan legislasi pidana dan pengembangan database pidana, diharapkan kapasitas hukum Indonesia dapat terus berkembang, tidak hanya dalam aspek regulasi, tetapi juga dalam praktik hukum yang lebih responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Ke depan, kerja sama ini diharapkan dapat terus berlanjut dan memberikan manfaat nyata bagi kedua negara.