BANYUWANGI, LINTAS NUSANTARA – Kasus intimidasi terhadap band punk Sukatani yang terpaksa menghapus lagu mereka dari platform digital mendapat perhatian luas.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyuarakan keprihatinan mendalam atas tekanan yang dialami Sukatani, terutama dalam bentuk represi dan intimidasi yang tampaknya dilakukan untuk membungkam ekspresi seni dan kebebasan berpendapat.
Menurut YLBHI, tindakan pemaksaan untuk meminta maaf dan menghapus karya seni merupakan bentuk pembungkaman yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan prinsip kebebasan berekspresi yang dijamin oleh undang-undang.
“Tidak boleh ada pengancaman, tidak boleh ada pemaksaan, apalagi sampai dipaksa membuka topeng dan meminta maaf. Ini adalah bentuk represi yang harus kita lawan,” tegas perwakilan YLBHI.
Sukatani dan Perjuangan Musik Punk
Sukatani adalah band punk asal Purbalingga, Jawa Tengah, yang dikenal dengan ciri khas musik post-punk dan new wave. Band ini digawangi oleh Ovi alias ‘Twister Angel’ dan AI alias ‘Alectroguy’.
Mereka telah lama menggunakan musik sebagai alat kritik sosial, menyuarakan perjuangan kelas pekerja dan ketidakadilan kapitalisme dalam lirik-lirik mereka.
Dengan menggunakan dialek Banyumasan, Sukatani memberikan sentuhan lokal yang unik dalam setiap lagu mereka.
Musik Sukatani terinspirasi dari band punk klasik seperti Lost Cherries, Poison Girls, X-Ray Spex, Peter & the Test Tube Babies, dan Cock Sparrer. Album terbaru mereka, Gelap Gempita yang dirilis pada tahun 2023, berisi sembilan lagu yang penuh energi dan pesan yang kuat, mengangkat tema-tema perlawanan sosial dan ketidakadilan.
Salah satu ciri khas penampilan panggung Sukatani adalah penggunaan balaclava dan aksi simbolis membagikan sayuran kepada penonton sebagai bentuk solidaritas dan kepedulian terhadap isu sosial. Mereka juga aktif dalam berbagai inisiatif komunitas, termasuk advokasi lingkungan dan gerakan akar rumput yang memperjuangkan hak-hak kaum proletar.
Kasus Lagu “Bayar Bayar Bayar” dan Kontroversinya
Lagu Bayar Bayar Bayar yang dirilis oleh Sukatani mengangkat tema ketidakadilan sosial dan praktik pungutan liar yang merugikan rakyat kecil. Lagu ini dengan cepat menarik perhatian publik karena liriknya yang tajam dan berani.
Namun, keberanian mereka dalam menyuarakan kritik ini berujung pada tekanan dan intimidasi, yang membuat mereka harus meminta maaf secara terbuka dan menghapus lagu tersebut dari berbagai platform digital.
Seniman dan budayawan dari Banyuwangi, Mas Langlang, mempertanyakan tindakan tersebut. “Entah masalahnya apa dan di mana, sehingga musisi Sukatani harus diintimidasi dan lagu mereka dihapus? Bukankah kebebasan berekspresi dijamin oleh undang-undang?” tanyanya.
Banyak pihak yang turut mengecam tindakan ini sebagai bentuk pembungkaman terhadap suara rakyat. Gerakan solidaritas untuk Sukatani mulai bermunculan di berbagai komunitas seni dan aktivis, mendesak agar hak berekspresi tetap dijaga dan tidak ada lagi intimidasi terhadap seniman yang kritis.
YLBHI: Kaum Muda dan Seniman Harus Terus Berkarya
YLBHI mendorong kaum muda dan seniman untuk tidak takut bersuara serta terus berkarya. Mereka menegaskan komitmen untuk memberikan pendampingan hukum bagi seniman yang menghadapi ancaman serupa di masa depan. “Kami siap mendampingi siapa pun yang mengalami represi atas karya dan ekspresinya,” kata perwakilan YLBHI.
Menurut YLBHI, kebebasan berekspresi merupakan hak fundamental yang harus dijaga dan dilindungi. Tidak seharusnya ada pemaksaan untuk membungkam suara kritis dalam dunia seni. Musik punk, sebagai salah satu bentuk perlawanan, harus tetap menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan ketidakadilan tanpa rasa takut.
Dengan adanya kasus ini, diharapkan semakin banyak pihak yang menyadari pentingnya menjaga kebebasan berekspresi di Indonesia. Solidaritas terhadap Sukatani terus mengalir, menunjukkan bahwa suara rakyat tidak akan mudah dibungkam. (r1ck)