SITUBONDO, LINTAS NUSANTARA – Reklamasi vs. Mangrove: bahaya proyek reklamasi pantai yang mengancam kelestarian mangrove dan dampaknya terhadap ekosistem laut dan masyarakat pesisir.
Situbondo – Hutan mangrove adalah salah satu anugerah terbesar yang dimiliki Indonesia, sebuah negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Dalam sebuah tulisan yang inspiratif, Farid Gaban, seorang jurnalis senior sekaligus aktivis lingkungan, menyoroti pentingnya mangrove sebagai “benteng alam” yang ajaib. Tulisan tersebut tidak hanya menjadi seruan, tetapi juga pengingat akan keajaiban mangrove yang kini semakin terancam oleh keserakahan manusia, terutama melalui proyek reklamasi pantai.
Keajaiban Mangrove: Pohon Hidup yang Melindungi dan Menghidupi
Mangrove adalah ekosistem unik yang tumbuh di wilayah pantai dengan air asin, menjadi pelindung alami antara daratan dan lautan. Menurut Farid Gaban, hanya 1% tutupan hutan dunia yang berupa mangrove, namun perannya sangat vital, terutama bagi negara kepulauan besar seperti Indonesia.
Mangrove memiliki kemampuan luar biasa untuk melindungi daratan dari abrasi sekaligus mencegah sedimentasi dari daratan masuk ke laut. Lebih dari itu, hutan mangrove juga menjadi penyerap karbon alami yang jauh lebih efektif dibandingkan teknologi modern seperti dinding laut (sea-wall).
“Menghutankan kembali pantai dengan mangrove jauh lebih murah dan lebih bermanfaat ketimbang mengerahkan teknologi konstruksi mahal,” tulis Farid Gaban. Ia juga menegaskan bahwa dinding beton tidak mampu menyerap karbon, justru berkontribusi pada krisis iklim global.
Selain manfaat ekologis, mangrove juga menjadi rumah bagi beragam spesies yang membentuk ekosistem pantai. Dari ular, monyet, hingga ikan gelodok yang dapat berjalan di lumpur, semua berperan dalam menjaga keseimbangan alam. Ekosistem mangrove juga melindungi padang lamun, yang menjadi habitat dugong (ikan duyung), kima (kerang besar), dan ikan kucing yang sering bergerombol dalam jumlah besar.
Lebih jauh, mangrove memiliki keterkaitan langsung dengan ekosistem terumbu karang yang menjadi bagian penting dari laut Indonesia. Kerusakan mangrove berarti kerusakan berantai pada padang lamun dan terumbu karang, serta mengancam kehidupan laut yang menjadi sumber penghidupan jutaan masyarakat pesisir.
Reklamasi: Ancaman bagi Keajaiban Mangrove
Namun, di balik keajaiban tersebut, keserakahan manusia terus mengancam keberlangsungan ekosistem mangrove. Proyek reklamasi pantai, yang sering dianggap sebagai solusi modern untuk pengembangan wilayah pesisir, menjadi ancaman besar bagi mangrove. Farid Gaban menyebut proyek reklamasi ini sebagai tindakan “absurd” yang hanya memperburuk kerusakan lingkungan.
Reklamasi tidak hanya merusak ekosistem mangrove, tetapi juga menyingkirkan masyarakat pesisir dari sumber penghidupan mereka. Dampak jangka panjangnya, ekosistem laut menjadi terganggu, jumlah ikan menurun drastis, dan krisis iklim semakin memburuk akibat berkurangnya area penyerapan karbon.
Inspirasi Perlawanan dari Aktivis Lingkungan
Tulisan Farid Gaban ini tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga inspirasi bagi para aktivis lingkungan di berbagai daerah. Di Banyuwangi dan Situbondo, misalnya, LSM AMPUH (Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup) terus bergerak menolak proyek reklamasi yang merusak. Mereka menggencarkan edukasi kepada masyarakat tentang pentingnya mangrove sebagai bagian dari jati diri bangsa maritim Indonesia.
AMPUH mengampanyekan penanaman kembali mangrove di sepanjang pantai sebagai langkah nyata untuk melindungi ekosistem yang ajaib ini. Mereka juga menggandeng para nelayan dan komunitas lokal untuk bersama-sama menjaga ekosistem mangrove yang telah menjadi sumber penghidupan selama berabad-abad.
Mengembalikan Jati Diri Bangsa Maritim
Farid Gaban menutup tulisannya dengan sebuah seruan: mangrove adalah bagian dari jati diri kita sebagai bangsa maritim. Menghancurkan mangrove berarti melupakan akar budaya kita sebagai bangsa yang hidup berdampingan dengan laut.
Sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab besar untuk melestarikan ekosistem mangrove. Tidak hanya demi keberlangsungan alam, tetapi juga demi masa depan bangsa Indonesia. Dengan melindungi mangrove, kita menjaga laut, daratan, dan kehidupan yang ada di dalamnya.
Melalui tulisan Farid Gaban, masyarakat Indonesia diingatkan kembali akan pentingnya mangrove sebagai pelindung alam yang ajaib. Pesan ini menjadi panggilan bagi semua pihak—pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha—untuk menghentikan proyek reklamasi yang merusak, dan beralih pada upaya pelestarian yang berkelanjutan.
Mangrove adalah benteng hidup yang telah diberikan alam kepada kita. Jika kita tidak melindunginya, siapa lagi? Jika tidak sekarang, kapan lagi?
Sementara itu dari Banyuwangi, pakar Hukum Lingkungan soroti pentingnya implementasi UU PPLH 2009. Ketua LSM Aliansi Masyarakat Pemerhati Lingkungan Hidup (AMPUH) Banyuwangi, Winarto, SH, menegaskan pentingnya keberadaan instrumen hukum sebagai strategi utama dalam pengelolaan, pelestarian, dan perlindungan lingkungan hidup. Pernyataan tersebut disampaikan dalam diskusi publik bertema “Pentingnya Penegakan Hukum Lingkungan dalam Era Perubahan Iklim,” yang digelar di Jember pada Selasa (28/1).
Winarto menjelaskan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) merupakan landasan hukum yang sangat penting dalam pengelolaan lingkungan di Indonesia. Menurutnya, undang-undang tersebut dirancang untuk memastikan bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab bersama dalam menjaga keberlanjutan ekosistem.
“UU PPLH 2009 bukan hanya mengatur pengelolaan lingkungan, tetapi juga memberikan perlindungan hukum terhadap kerusakan yang diakibatkan oleh aktivitas manusia maupun korporasi. Instrumen ini harus menjadi pedoman utama dalam setiap kebijakan pemerintah terkait lingkungan,” tegas Winarto.
Ia juga menyoroti tantangan dalam implementasi UU PPLH, terutama dalam hal penegakan hukum. Menurutnya, masih banyak kasus kerusakan lingkungan yang belum ditindak tegas meski jelas melanggar undang-undang. “Penegakan hukum yang tegas adalah kunci. Jika tidak ada sanksi nyata terhadap pelanggaran, maka tujuan undang-undang ini tidak akan tercapai,” ujarnya.
Winarto mengajak semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, maupun pelaku usaha, untuk lebih serius menjalankan amanah UU PPLH. Ia menekankan bahwa kolaborasi antar-pihak sangat diperlukan untuk menghadapi tantangan lingkungan, termasuk dampak perubahan iklim yang semakin nyata.
“Lingkungan adalah warisan kita untuk generasi mendatang. Kita harus bertanggung jawab menjaga dan melindunginya. Tanpa instrumen hukum yang kuat dan komitmen bersama, sulit bagi kita untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan,” pungkas Winarto.
Diskusi tersebut dihadiri oleh sejumlah tokoh masyarakat, akademisi, serta aktivis lingkungan, yang juga memberikan masukan terkait kebijakan lingkungan di tingkat lokal dan nasional.