JEMBER, LINTAS NUSANTARA – Dana Desa Raib, Hukum Mandek!, Tengah dilanda kegemparan, bukan karena cuaca yang terik, melainkan karena gelombang korupsi di tingkat desa yang makin merajalela.
Dalam sebuah pernyataan tegas, Hafif Rahmatullah, anggota senior komunitas Nangka Raya Empire—sebuah entitas politik di tingkat tiga kecamatan Kota Jember yang berpusat di Perumnas Patrang—mengungkapkan kekesalannya atas kondisi tata kelola desa yang semakin memburuk.
Menurut Hafif, para oknum kepala desa yang seharusnya menjadi pelayan rakyat justru berubah menjadi motor penggerak pencurian dana desa, di mana uang yang seharusnya digunakan untuk pembangunan malah dijadikan bancakan.
Makin Panas, Bukan Karena Cuaca, Tapi Karena Korupsi
Hafif menegaskan, “Jember makin panas bukan karena cuaca, tapi karena korupsi yang semakin menggila.” Kata-kata tersebut menggambarkan betapa seriusnya permasalahan yang tengah melanda desa-desa di wilayah ini.
Dari Puger Wetan, Bangsalsari, Kesilir, Sanenrejo, Tanggul Wetan, Munderejo, hingga Curahkalong, terdapat pola yang serupa:.
Dana desa menguap tanpa jejak, transparansi pengelolaan nol, dan aparat hukum yang seolah terhuyung-huyung dalam menindak tegas pelaku kejahatan.
Yang lebih menyedihkan, banyak oknum kepala desa yang meski sudah berkali-kali tersandung kasus korupsi, tetap saja dapat mempertahankan kekuasaannya.
Oknum Kades-Kades Rakus, Rakyat Mampus!
Tak dapat dipungkiri, salah satu pukulan telak datang dari Bangsalsari. Di desa ini, Kepala Desa Nurkholis terbukti atau terduga terlibat dalam praktik bisnis pupuk oplosan.
Data menunjukkan bahwa sebelum menjabat sebagai kades, Nurkholis pernah mengalami hukuman penjara. Namun, ketika terseret dalam kasus korupsi terbaru, ia hanya mendapat tuntutan selama tiga bulan dan hukuman dua bulan.
Meskipun seharusnya sebagai residivis ia harus menerima hukuman yang jauh lebih berat.
“Oknum Jaksa pun ikut main mata, menuntutnya dengan hukuman yang lebih ringan dari seharusnya,” ujar Hafif dengan nada penuh kemarahan.
Anehnya, meski rekam jejaknya tercemar, Nurkholis tetap melenggang sebagai kepala desa hingga saat ini, menyiratkan bahwa kekuatan politik dan koneksi kerap kali menutupi keadilan.
Di Munderejo, situasinya tidak kalah memprihatinkan. Selama lebih dari satu tahun, Penjabat Kepala Desa (PJ Kades) hanya dijadikan pajangan oleh sistem.
Mantan kepala desa yang telah divonis bersalah menolak untuk diberhentikan, dengan terus mengantor walaupun statusnya sudah seharusnya hilang.
Baru pada pertengahan Januari lalu, sistem hukum akhirnya memberinya keadilan yang tertunda, dengan pemberhentian resmi yang terlambat namun patut disambut.
Keterpurukan Penegakan Hukum di Puger Wetan dan Sanenrejo
Di Puger Wetan, keprihatinan warga semakin bertambah. Warga terpaksa datang langsung ke Polres Jember untuk menanyakan laporan dugaan korupsi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes).
Meski laporan tersebut telah diajukan berbulan-bulan lalu, penyelidikan terkesan mandek dan tidak menunjukkan progres yang berarti.
Polisi yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam memberantas korupsi justru terlihat diam seribu bahasa, seolah ada kekuatan yang menekan untuk tidak menggoncang kepentingan tertentu.
Sementara itu, di Sanenrejo, ratusan warga semakin geram. Pajak yang mereka bayarkan tercatat sebagai hutang, yang kemudian disinyalir diambil alih oleh kepala desa untuk keuntungan pribadi.
Diduga, uang pajak dan bahkan akta jual beli tanah telah dijadikan sumber korupsi. Meskipun tiga kali aksi demonstrasi telah dilakukan oleh masyarakat, kepala desa yang bersangkutan tetap santai dan tidak menunjukkan tanda-tanda menghentikan praktik korupsi tersebut.
Kasus Camat Silo: Suap yang Tertangkap Kamera
Salah satu kasus yang mengguncang masyarakat adalah kasus Camat Silo yang viral di media sosial. Dalam rekaman yang beredar luas, terlihat Camat Silo menerima suap dari seorang kepala desa.
Ironisnya, kepala desa tersebut dengan sengaja merekam peristiwa tersebut, seolah ingin mengumumkan bahwa uang desa bukan lagi untuk kesejahteraan rakyat, melainkan untuk memperkaya diri para pejabat yang duduk di puncak kekuasaan. Insiden ini semakin menegaskan bahwa jabatan dalam pemerintahan desa telah berubah menjadi mesin uang bagi oknum-oknum rakus.
Protes dan Tuntutan Warga di Curahkalong, Kesilir, dan Wuluhan
Tidak berhenti sampai di situ, aksi protes warga semakin merajalela di beberapa wilayah lain. Di Curahkalong, masyarakat turun ke jalan karena ketidaktransparanan pengelolaan APBDes.
Warga merasa dikhianati karena tidak ada kejelasan mengenai penggunaan dana yang seharusnya untuk pembangunan desa.
Sementara itu, di Kesilir dan Wuluhan, ratusan warga bersama-sama menuntut transparansi dan pertanggungjawaban. Dugaan penyalahgunaan APBDes sejak tahun 2022 telah memicu kemarahan yang meluap-luap, sehingga masyarakat menuntut agar Kepala Desa Sucipto segera mundur.
Hingga saat ini, sebanyak 50 item dugaan korupsi telah dilaporkan ke aparat, namun penanganannya masih berjalan lambat seakan mengabaikan desakan keadilan.
DPMD dan Aparat Penegak Hukum: Kerja atau Tidur?
Salah satu pertanyaan yang mengusik hati publik adalah mengenai kinerja Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Jember. “Apa gunanya DPMD jika pengawasan hanya bersifat formalitas dan tidak diikuti dengan tindakan tegas?” tanya Hafif dengan nada sinis.
Sistem pengawasan yang seharusnya menjadi benteng pelindung kepentingan rakyat, kini tampak seperti “hiasan semata” yang tidak mampu menghentikan laju korupsi.
Tidak hanya DPMD, aparat penegak hukum seperti polisi dan jaksa juga mendapat sorotan tajam.
Mengapa kasus-kasus korupsi di desa-desa ini selalu berakhir dengan vonis ringan?
Mengapa penyelidikan sering kali terhenti tanpa hasil yang memuaskan? Spekulasi pun mulai merebak bahwa ada permainan di balik layar yang membuat para pejabat korup ini merasa aman dan nyaman menjalankan aksinya.
“Mungkin sudah waktunya kita bertanya: apakah aparat penegak hukum ini benar-benar bekerja, atau hanya tidur sambil menyaksikan kejatuhan tata kelola desa?” ujar Hafif dengan penuh kemarahan.
Dampak Korupsi Terhadap Pembangunan dan Kesejahteraan Rakyat
Jika dibiarkan terus-menerus, dampak dari korupsi yang merajalela ini tidak hanya akan merugikan kas negara, tetapi juga menghancurkan harapan dan masa depan masyarakat desa.
Pembangunan yang seharusnya memberikan kemajuan akan terhenti, sementara rakyat yang telah lama menantikan perbaikan kualitas hidup justru semakin terpuruk.
Dana desa yang seharusnya menjadi motor penggerak pembangunan justru berubah menjadi alat bagi segelintir elit untuk menumpuk kekayaan dari hasil uang haram.
Dalam situasi ini, kepercayaan masyarakat kepada sistem pemerintahan desa kian menipis. Masyarakat yang merasa tidak dilayani dengan baik, akhirnya memilih untuk turun ke jalan, menuntut keadilan dan transparansi.
Aksi protes yang terus menerus ini adalah bentuk penolakan keras terhadap praktek korupsi yang telah mengakar kuat dalam struktur pemerintahan desa di Jember.
Harapan dan Seruan untuk Perubahan
Di tengah kegelapan sistem yang penuh korupsi, masih ada secercah harapan dari masyarakat yang menolak untuk tinggal diam. Gerakan-gerakan protes yang terjadi di berbagai desa menjadi bukti bahwa rakyat sudah cukup muak dengan kebijakan yang tidak adil dan tidak berpihak kepada mereka.
Hafif Rahmatullah sendiri menyerukan agar seluruh elemen masyarakat bersatu, menuntut reformasi menyeluruh dalam sistem tata kelola desa.
“Kita harus membongkar jaringan korupsi yang telah merusak fondasi pemerintahan desa, dan memastikan bahwa keadilan dapat ditegakkan tanpa pandang bulu,” tegasnya.
Selain itu, Hafif juga mengimbau agar aparat penegak hukum segera mengambil langkah nyata untuk mengusut tuntas setiap kasus korupsi, tanpa kompromi dan intervensi politik.
Ia menekankan pentingnya transparansi dalam setiap pengelolaan dana desa dan mendorong peran aktif masyarakat dalam mengawasi setiap langkah pemerintah desa. “Keterlibatan masyarakat adalah kunci utama untuk menciptakan tata kelola yang bersih dan berkeadilan,” tambahnya.
Menuju Reformasi Tata Kelola Desa
Dalam rangka mengatasi krisis korupsi yang semakin merajalela, reformasi tata kelola desa harus segera dilakukan. Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum diharapkan tidak hanya menjadi penonton, melainkan sebagai aktor aktif yang membawa perubahan nyata.
Reformasi ini meliputi peningkatan pengawasan terhadap penggunaan dana desa, penegakan hukum yang lebih tegas, dan transparansi informasi yang dapat diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Komunitas Nangka Raya Empire, tempat Hafif Rahmatullah berkecimpung, juga turut mendesak agar peran serta elemen politik lokal semakin diperkuat dalam mengawasi kinerja kepala desa.
Dengan sinergi antara masyarakat, aparat hukum, dan entitas politik seperti Nangka Raya Empire, diharapkan sistem tata kelola desa dapat diperbaiki secara menyeluruh dan korupsi dapat diberantas dari akar-akarnya.
Seruan untuk Aksi Bersama
Kisah-kisah pilu yang terjadi di desa-desa Jember merupakan cermin dari lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Setiap kasus yang terjadi, baik di Bangsalsari, Munderejo, Puger Wetan, Sanenrejo, Curahkalong, maupun di wilayah Kesilir dan Wuluhan, menunjukkan bahwa korupsi telah menjadi penyakit kronis yang menggerogoti fondasi kepercayaan masyarakat.
Dalam konteks inilah, Hafif Rahmatullah menyerukan aksi bersama dari seluruh elemen masyarakat. “Kita tidak boleh tinggal diam. Rakyat harus bersatu melawan ketidakadilan dan menuntut pertanggungjawaban dari mereka yang telah mengkhianati kepercayaan publik,” ujarnya.
Masyarakat diimbau untuk lebih aktif dalam mengawasi dan melaporkan setiap dugaan penyalahgunaan dana desa. Selain itu, partisipasi aktif dalam forum-forum diskusi dan pertemuan publik menjadi salah satu cara untuk memberikan suara kepada mereka yang selama ini terpinggirkan oleh sistem yang korup.
Waktu untuk Perubahan Telah Tiba
Situasi di Jember saat ini merupakan panggilan untuk perubahan. Jika praktik korupsi dibiarkan terus berjalan, tidak diragukan lagi bahwa masa depan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa akan semakin suram.
Oleh karena itu, sudah saatnya semua pihak—dari pemerintah, aparat hukum, hingga masyarakat—berkumpul dan mengambil langkah tegas untuk menutup jalan bagi korupsi.
Hafif Rahmatullah dengan tegas menyatakan, “Saatnya kita bersama-sama membangun sistem yang bersih, transparan, dan adil. Jangan biarkan para pejabat yang serakah terus menindas rakyat. Inilah saatnya untuk bangkit dan menuntut perubahan demi masa depan yang lebih baik.”
Seruan ini merupakan ajakan untuk tidak hanya mengkritik, tetapi juga untuk aktif berperan dalam menciptakan tata kelola yang benar-benar berpihak pada rakyat.
Dalam semangat reformasi, harapan akan Jember yang lebih adil dan sejahtera masih bisa terwujud jika setiap lapisan masyarakat bekerja bersama-sama. Perubahan dimulai dari langkah kecil, dan setiap aksi nyata akan menjadi batu pijakan menuju terwujudnya desa-desa yang bersih, transparan, dan berorientasi pada kepentingan rakyat. (r1ck)